Cerita Sang PenulisMotivasi Menulis

Rahasia Memulai Pekerjaan Menulis

Apa rahasia memulai pekerjaan menulis? Mulailah menulis sekarang dari apa yang ada, karena yang ada itu lebih dari cukup untuk memulai pekerjaan menulis. Lalu, apa kekuatan dari rahasia memulai pekerjaan menulis seperti itu bagi orang yang ingin jadi penulis?

_❤oOo❤_

Oleh: Arda Dinata

PRODUKTIF MENULIS – Siapa sangka. Saat masa kuliah di Bandung yang sering mengalami kondisi telat menerima jatah kiriman uang bulanan dari orangtua di Indramayu. Kondisi ini, akhirnya membuat seorang Adra Atanid mendapatkan “hikmah” jadi terjerumus dalam dunia kepenulisan untuk tetap bisa menyambung hidup kesehariannya.

“Kok… bisa! Bagaimana ceritanya?”

Inilah awal rangkaian cerita yang disulam bak sebuah drama kehidupan penggugah kesadaran diri seseorang. Pada tahun 1993, inilah tahun pertama masa-masa awal kuliah di Bandung. Hidup jauh dari orangtua membuat dirinya harus terbiasa hidup mandiri di daerah orang. Segala mental disiapkan untuk menempuh masa pendidikan agar menggapai cita-cita mulia.

Semua kebutuhan harus dikelola secara cermat untuk dapat bertahan menyelesaikan pendidikan tinggi di Kota Bandung. Apalagi, ia sadar betul akan pekerjaan orangtuanya yang sebagai petani, tentu sumber pendapatannya sangat terbatas hanya mengandalkan dari hasil bertani yang didapat setahun cuma dua kali panen padi itu.

Kondisi tersebut, sangat terasa memberatkanku dalam mengatur masalah keuangan bulanan. Baik untuk keperluan biaya kuliah yang harus dibayar tiap semester. Sebab, sering kali waktu panen padi dan batas akhir semester itu waktunya tidak bersamaan. Hal ini membuat uang kuliah telat dibayarkan tiap semesternya. Belum lagi masalah untuk memenuhi kebutuhan bulanan yang sering kali kembang kempis tidak mampu menutupi kebutuhan sehari-hari. Inilah sisi lain kisah pilu dari kehidupan anak kost yang penghasilan orangtuanya itu sangat terbatas.

BACA JUGA:  Rahasia Memulai Menulis

Aneka sindiran padaku dari pihak administrasi keuangan dan bagian kemahasiswaan sudah jadi langganan setiap ada kesempatan bertatap muka. Baik, ketika di kelas maupun saat dipanggil langsung ke ruangan administrasi. Lebih-lebih saat menjelang ulangan tengah semester atau akhir semester, suara-suara nada sindiran itu berdatangan.

“Adra…, kapan mau bayar uang semesteran tahun–.” Tanya Pak Ati bagian kemahasiswaan.

“Pasti, Adra mah… jawabnya nanti nunggu saat panen sawahnya. Tiap ditagih, pasti nanti habis panen terus jawabnya!” Potong Pak Otramus sebagai dosen waliku yang tempat duduknya di sebelah Pak Ati itu.

Aku hanya diam, tidak bisa berkata apa-apa. Memang, kondisi seperti itu sudah jadi langganan setiap menjelang ujian. Sebab, biasanya aku dan teman lainnya yang menunggak bayaran itu akan membuat surat pernyataan untuk melunasinya dalam batas waktu tertentu agar bisa memperoleh kartu ujian pada semester tersebut.

**

Saat kuliah kebetulan aku aktif di organisasi keluarga mahasiswa (Kema). Pada waktu menjelang masa pendaftaran mahasiswa baru, aku dan ketua Kema diminta bantuan oleh pihak akademik untuk memasang iklan penerimaan mahasiswa baru di sebuah koran harian terbesar dan terkenal dari Bandung yang area pemasarannya tersebar pada seluruh wilayah Provinsi Jawa Barat.

“Ini tolong ke biro iklan pasang pengumuman penerimaan mahasiswa baru ya! Naskah iklan dan ukurannya sudah tertera di situ.” Ungkap ketua panitia penerimaan mahasiwa baru itu sambil menyerahkan naskah iklan beserta biayanya kepada kami berdua.

“Siap..pak!” Kami secara bersamaan menjawab perintah tersebut dan langsung meluncur ke bagian iklan koran tersebut.

Sejurus kemudian, kami berdua sudah berada di bagian biro iklan koran yang dimaksud. Sambil menunggu antrian, aku mengisi waktu dengan membuka lembaran halaman beberapa koran yang ada di ruang tunggu yang sejuk dan bersih itu.

BACA JUGA:  Penulis Unggul Itu Kamu

“Silahkan, ada yang bisa dibantu kang?” Tiba-tiba suara lembut cewek pelayan biro iklan koran di depan ruang tunggu itu menyadarkanku.

“Oh iya…!”

“Ini kami mau memasang iklan penerimaan mahasiwa baru untuk pemuatan besok di halaman 2. Konsep dan ukuran spesifikasi naskah iklannya ada di kertas.” Ucapku sambil menyerahkan kertas berisi konsep iklan tersebut.

 “Baik, kami terima naskahnya. Sebentar kami buatkan tanda terima dan rincian biayanya.” Responnya dengan penuh senyuman keramahan.

Saat aku menerima tanda terima pemasangan iklan dan memberikan sejumlah uang pembayaran tersebut, aku sebelum pamit tidak membuang kesempatan bertanya-tanya seputar tulisan di koran tersebut.

“Oh… iya! Maaf mba tanya sedikit boleh?”

“Boleh… silahkan!”

“Ini kan kalau ada orang yang mau pasang iklan harus bayar ya? Berarti, sebaliknya kalau ada orang yang menulis atau kirim tulisan ke koran ini dan dimuat, nanti dia dapat bayaran ya mba..?” Tanyaku penuh penasaran.

“Oh iya betul. Kalau ada tulisan yang bagus dan menarik segera kirim saja ke redaksi koran. Bisa untuk rubrik opini atau rubrik lainnya yang sesuai dengan tema tulisannya. Nanti, kalau kebetulan tulisannya dimuat tentu akan dapat honorarium. Jadi, akang kalau suka menulis, kirimkan saja tulisan ke alamat kantor redaksi ini.” Jawab pelayan bagian iklan itu sambil menujukkan bok yang tertera ada alamat redaksi koran tersebut.

“Oh, iya mba.. Makasih atas penjelasannya. Kami permisi.” Ucap kami sambil mengganggukkan kepala berpamitan.

“Sama-sama. Terima kasih atas kunjungannya.” Tutup resipsionis yang melayani kami dengan senyum manisnya.

**

Sepulang dari bagian iklan koran yang biasa aku baca di kampus itu, pikiranku terus melayang jauh. Tepatnya, aku membayangkan seandainya aku kirim tulisan ke koran tersebut dan berhasil tembus sampai dimuat, berarti nanti aku dapat uang untuk membantu kebutuhanku sehari-hari.

BACA JUGA:  Kata-Kata Itu Bikin Gairah Menulis

Motivasi itu begitu kuat mempengaruhi pikiranku. Aku belakangan jadi semakin rajin membaca tulisan yang ada di koran tersebut. Sambil membaca, aku sambil belajar bagaimana para penulis yang tulisannya dimuat itu membuat judul, merangkai kalimat dari awal sampai akhir.

Motivasi keinginan bisa menulisku semakin kuat. Lebih-lebih aku pernah dapat kata-kata motivasi yang diucapkan oleh seorang dosen. Yakni, bagaimana rahasia memulai pekerjaan menulis.

Beliau pernah mengatakan, “Mulailah dari apa yang ada, karena yang ada lebih dari cukup untuk memulai pekerjaan.”[1] Pernyataan inilah menurut aku yang merupakan rahasia memulai pekerjaan menulis.

Pernyataan tersebut, coba aku aplikasikan dalam dunia menulis. Bukankah, selama ini aku sudah cukup mendapat aneka ilmu dan tugas-tugas kuliahan? Yang mana, ilmu-ilmu itu bisa disebarkan kepada masyarakat lewat tulisan nantinya. Ayo, mulailah menulis sekarang dari apa yang ada, karena yang ada itu ebih dari cukup untuk memulai pekerjaan menulis! Demikian ucap batinku memberi semangat untuk segera memulai belajar menulis buat dikirim ke majalah dan koran.

Arda Dinata

Arda Dinata adalah penulis buku Strategi Produktif Menulis dan penulis kolom di https://insanitarian.com/ , https://ardadinata.com/, dan https://www.miqraindonesia.com/

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!