Menyikapi Kegagalan Bagi Penulis
Menyikapi kegagalan bagi penulis harus disikapi secara bijaksana.
“Kadangkala, apa yang disebut musibah sama sekali bukanlah musibah.”
(Adhim, 2005).
PRODUKTIF MENULIS – Menyikapi kegagalan bagi penulis harus disikapi secara bijaksana. Sebab, sesuatu kegagalan dalam menulis itu, sejatinya bukan merupakan suatu musibah, bila kita menerima dengan melakukan perbaikan atas naskah yang telah dibuat dan ditolak oleh penerbit itu.
Masalah penolakan atas tulisan yang telah penulis buat itu, bukanlah sesuatu yang rahasia. Saya yakin, tiap penulis yang sekarang terkenal pun pada awal-awal belajar menulis pernah mengalami penolakan naskah yang dibuat oleh suatu penerbit (baik koran, majalah, dan penerbit buku sekalipun).
Namun, yang membedakan antara penulis yang sukses dan gagal itu adalah dalam menyikapi penolakan tersebut. Bagi penulis berjiwa sukses akan menyikapi penolakan itu dengan memperbaiki apa yang telah disarankan editor. Atau paling tidak, dia akan melihat hasil koreksian itu sebagai bahan perbaikan dalam membuat tulisan ke depannya.
Sebaliknya, bagi seorang penulis gagal. Ia, dalam menyikapi penolakan naskahnya dengan sikap tidak bijaksana. Bisa menyalahkan editor dengan aneka sumpah serapahnya. Bahkan, lebih fatal, sikapnya yang tidak mau menerima dan tidak belajar dari masukan editor yang memeriksanya. Padahal, perbaikan dan masukan tersebut, memiliki tujuan agar naskahnya menjadi lebih baik dan berkualitas. Paling tidak, tulisannya menjadi enak dibaca dan mengalir saat siapa pun menikmati hasil tulisannya.
Belajar dari Penulis Sukses
Berbicara kegagalan dalam menulis, kita bisa belajar dari sang penulis sukses yang buku-bukunya best seller. Dia, adalah Mohammad Fauzil Adhim. Saya selalu menikmati setiap tulisannya, baik yang dimuat di majalah maupun buku-bukunya. Tulisannya begitu mengalir, sehingga kita yang membacanya dibuat nyaman menikmati rangkaian isi tulisannya.
Untuk itu, tidak disangsikan bila Mohammad Fauzil Adhim ini, oleh beberapa kalangan dikenal dengan tulisannya yang inspiratif dan menggugah serta pilihan katanya yang menyentuh. Dialah penulis buku paling fenomenal Kupinang Engkau dengan Hamdalah, Kado Pernikahan untuk Istriku, dan Membuat Anak Gila Membaca.
Ada cerita yang menarik dari penulis yang satu ini terkait menyikapi kegagalan atas naskah yang pernah ditolak oleh redaksi. Cerita ini saya kutip dari bukunya, Inspiring Word for Writers (Adhim, 2005). Cerita berikut ini telah menginspirasi saya selama ini dalam menyikapi naskah-naskah saya yang pernah ditolak oleh berbagai media cetak dan media online.
Suatu saat saya menulis dua artikel tentang mengajarkan membaca pada anak sejak dini ke sebuah surat kabar terbitan Jakarta. Satu minggu saya tunggu, belum dimuat. Dua minggu, belum juga. Tiga minggu…, saya mendapatkan kiriman dari redaksi berupa surat penolakan.
Putus asa?
Tidak.
Saya segera memperbaiki artikel tersebut. Terlalu dipaksakan memang, sehingga kurang enak dicerna. Setelah diperkaya sana-sini, tulisan itu pun menjelma menjadi buku laris saat ini: Mengajar Anak Anda Mengenal Allah Melalui Membaca. Inilah buku pertama saya. Buku itu sekarang saya tulis ulang dalam tiga bagian. Membuat Anak GILA Membaca adalah bagian pertama yang mendapat sambutan luas di masyarakat.
Kalau saja saya menganggap penolakan itu akhir dari segala-galanya, barangkali trilogi Kupinang Engkau dengan Hamdalah yang kemudian dikemas menjadi satu jilid dalam Kado Pernikahan untuk Istriku, tidak pernah hadir. Sekarang, buku Kupinang Engkau dengan Hamdalah saja telah terjual lebih dari 100.000 eksemplar. Ya, seratus ribu eksemplar!
“Benarlah, kadang yang dianggap musibah, sama sekali bukanlah musibah,” itulah cerita singkat dari penulis Mohammad Fauzil Adhim ketika menyikapi suatu penolakan terhadap naskah yang telah susah-susah ia buat.
Apakah Anda pernah merasakan penolakan dari penerbit atau redaksi sebuah media?
Saya sih pada awal-awal menulis, bukan saja pernah merasakan penolakan. Tetapi, sangat sering. Justru, dari semua penolakan itu saya belajar banyak terkait dunia penulisan. Apalagi, awal-awal dulu waktu saya belajar menulis itu tidak banyak sarana yang menjadi sumber belajar dalam teknik menulis, tidak seperti saat ini begitu melimpah.
Untuk itu, jalan satu-satunya pada waktu itu, saya berpikir harus sabar, tekun dan langsung belajar dari tulisan penulis lain yang karyanya telah diterbitkan. Bagaimana mereka menulis judul, membuat paragraf pertama, mengungkapkan masalah, menguraikan jawaban dari masalah tersebut sebagai isi tulisan, dan sampai akhirnya ia menutup sebuah tulisan itu.
Sungguh, hal tersebut menjadi sebuah pengalaman berharga bagi saya dalam dunia menulis. Mulai dari jaman menulis dengan menggunakan mesin ketik, awal era komputer pakai disket dan CD, lalu masuk era internet (blog) dan media digital saat ini.
Belajar Menulis Secara Mandiri
Inspiratif
Alhamdulillah…. Makasih sudah menikmati dan belajar bareng di sini! Semoga sehat dan sukses selalu. Aamiin…
Salam produktif menulis…
Admin Produktif Menulis